Mata Kuliah : Teologi Religionum
Dosen Pengampu
: Pdt. Daud Sangka’ P.
ANALISIS TERHADAP
PEMIKIRAN TH SUMARTANA
Dalam Buku : Agama Dalam
Dialog Pencerahan, Pendamaian dan Masa Depan (Prof. Dr. Olaf Herbert Schumann)
Oleh :
Uci Sumarlin
BEBERAPA TEMA DIALOG
ANTAR-AGAMA KONTEMPORER
A.
Pendahuluan
Dalam
rumah kita, kita memiliki hobby dan kesukaan yang tidak melulu sama. Di sekitar
tempat tinggal kita tentu terdiri dari berbagai macam manusia dengan karakter
dan kondisi sosialnya masing-masing, bahkan di tempat kerja juga demikian.
Begitu banyaknya perbedaan tentu menjadikan kita semakin ‘kaya’ dalam segala
hal, tetapi sekaligus dapat ‘membingungkan’ dalam hal yang lain. Di era post
modern ini tentu perbedaan itu biasa, pergeseran masyarakat dari tradisional ke
modern dan kemudian postmodern menunjukkan kemajuan peradaban terus terjadi
pada manusia. Demikian juga halnya
dengan teologi dan berdialog , khususnya dalam dialog antar agama
kontemporer.
Dialog
agama-agama menjadi hal yang dapat ditemui dalam keseharian. Sebagai contoh di
sekolah, tidak hanya terdapat guru yang sama, khususnya dalam hal agama. Kondisi
ini tidak menjadikan kita kemudian terkurung dan tidak mau bergaul. Kondisi
profesionalitas, misalnya, mengharuskan kita berdialog dengan orang-orang di
sekitar kita. Kondisi ini kemudian lebih dikenal dengan istilah konteks. Sehingga
dapat dikatakan bahwa teologi agama-agama atau dialog antar agama lahir dari
konteks yang disajikan oleh zaman. Zaman dimana komunikasi dan dialog mau tidak
ma terus berlangsung baik itu secara teologis maupun secara non teologis.
Apakah
yang dimaksud teologi relegionum? Teologi agama-agama artinya[1] :
·
Teologi dari
agama yang berkembang khususnya agama modern (agama langit : teologi
keselamatan, kematian, hari kiamat, dll),
·
Teologi yang
dibanguhn menjadi teologi semua agama (Teologi Universal)
·
Teologi yang
dibangun masing-masing agama karena konteks plural dalam masyarakat dan bangsa
seperti Indonesia.
Teologi
Agama-agama (dalam bahasa Inggris Theology of
Religions, dalam bahasa
Latin Theologia Religionum) adalah cabang dari ilmu teologi yang membahas
bagaimana kekeristenan memberi respons teologis terhadap kenyataan adanya pluralitas agama di luar dirinya.[2]
Fokus studi teologi agama-agama adalah bagaimana umat Kristen memandang dan
menilai agama-agama lain, serta bagaimana hubungan yang positif antar-agama
dimungkinkan melalui teologi yang dikonstruksi.[3]
Salah satu pionir di dalam teologi agama-agama adalah teolog Inggris yang bernama
Alan Race.[4]
Teologi agama-agama ini penting untuk dipahami dan
dipelajari bahkan diberlakukan dalam kehidupan, sebab tidak dapat dipungkiri
bahwa kita hidup di zaman plural atau dalam masyarakat yang plural. Jadi
tantangan agama-agama adalah pluralism yang tidak dapat dihindari pada bagian
dunia manapun.[5]
Karena itu, penting untuk memikirkan model dialog yang bagaimana yang akan
diberlakukan dalam kehidupan bersesama dan bermasyarakat di Indonesia
khususnya. Salah satu yang memberikan sumbangsih pemikiran adalah Th. Sumartana yang kemudian
menyumbangkan salah satu pemikiran pada buku yang bersifat bunga rampai. Buku yang
merupakan punjung tulis 60 Tahun kenangan Prof. Dr. Olaf Herbert Schumann hasil
suntingan Balitbang PGI, dengan judul : “Agama dalam Dialog, Pencerahan,
Pendamaian, dan Masa Depan”.[6]
B.
Deskripsi Pemikiran Th. Sumartana
Siapakah Th Sumartana ini? Th. Sumartana, lahir di
Banjarnegara, Jawa Tengah, 15 Oktober 1944. Direktur Yayasan Dialog Antar Iman
(Dian) ini, lulus Sarjana Teologi dari Sekolah Tinggi Theologi Jakarta, tahun
1972, dan studi dialog antaragama di Geneva (1972-1973). Memperoleh gelar Ph.D.
pada jurusan Misiologi dan Perbandingan Agama, Freij Universiteit, dengan judul
disertasi Mission at the Cross Road. Pernah bekerja sebagai Redaktur Teologi
pada BPK Gunung Mulia (1972-1975), sebagai staf Lembaga Penelitian dan Studi
Dewan Gereja-gereja di Indonesia, Jakarta (1975-1982). Tahun 1991-1995, sebagai
pengajar tetap pada Program Pascasarjana Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga.
Cendekiawan Kristiani ini seringkali menyoroti perihal
kesibukan berteologi yang kurang peka terhadap tanda-tanda zaman. Dalam sebuah
tulisan bertajuk "Theologia Religionum: Sebuah Pengantar" ia
mengemukakan kesibukan berteologi kita sekarang ini terasa kurang terarah.
Mungkin, karena kita kurang merumuskan persoalan dengan jelas, atau bisa juga
karena soal yang kita pergumulkan kurang mempunyai pijakan pada kenyataan
kehidupan. Kesibukan kita kurang peka terhadap tanda-tanda zaman. Sehingga,
teologi kita tidak punya komitmen yang sungguh-sungguh terhadap masa depan.
Dalam
buku ini, Th Sumartana mengemukakan beberapa hal sebagai berikut :
Ø Dialog agama-agama kontemporer lahir dari konteks pluralisme,
berbeda dengan corak agama-agama dimasalalu. Karenanya membutuhkan basis
pemahaman teologis, institusional, aktivitas serta kiprah agama dalam
masyarakat.
Ø Tulisannya berangkat dari pengalaman pada lembaga
INTERFIDEI, lembaga yang bergerak dalam bidang dialog antar iman atau agama.
Yang kemudian melahirkan pemikiran Th Sumartana bahwa dialog antar agama adalah
sebuah garis dengan titik-titik tematik yang saling menyambung atau berkaitan
satu dengan yang lain, yang tertenun dalam pergaulan formal ataupun non formal
Ø Dialog yang terjadi antar agama adalah bersifat umum
/ non teologis dan teologis. Tetapi secara implisit ada dalam setiap perumusan
sikap serta massalah yang digeluti bersama.
Ø Rumusan tematik dialog antar agama-agama ini,
terdapat lima pokok yang perlu dicermati bersama-sama, yaitu :
1.
Jembatan mistik, hal mistisisme
adalah hal biasa bagi masyarakat Indonesia. Pengalaman mistis adalah cara untuk
mentrandensikan pengalaman keagamaan yang sudah menjadi terlalu doktriner-rasionalistis. Hal mistis yang
kemudian dijadikan “jembatan” adalah
kesenangan berada di hadirat Tuhan. Sehingga orang akan bersatu untuk
bergaul dengan Tuhan. Perbedaan antar agama akan menjadi cair, karena
pengalaman dalam kesatuan dengan Tuhan yang mengatasi segala agama. Tuhan
menjadi pusat dalam pengalaman mistik, yang menjadi pengalaman tentang
transendensi yang bisa melintasi perbedaan antar agama, tanpa terjerumus dalam
upaya penggabungan (amalgamasi) di satu pihak dan konfirmasi di pihak lain.
2.
Pendekatan
Historis-Sosiologis, pendekatan ini
adalah upaya untuk memanfaatkan ilmu-ilmu sosial lain, khususnya sejarah dan
sosiologi. Secara historis, Sumartana menjelaskan bahwa setiap agama dapat
menemukan proses kejadian serta asal-muasal dari munculnya sebuah fenomena
keagamaan tertentu, misalnya Doktrin Trinitas, sebagai teks. Hal lain yang
penting adalah konteks yang saling berpengaruh dengan teks, sehingga tidak
dapat dipisahkan. Fenomena agama, yang bukan melulu soal wahyu saja, tetapi
juga fenomena kemanusiaan yang penting untuk dikaji ulang dan ditafsir ulang
dengan tuntutan konteks yang baru. Jadi, dialog antar agama ditempatkan pada
konteks yang dinamis, yang terus mengalami pembaharuan, reinterpretasi,
rekontekstualisasi, dan melakukan kajian ulang terhadap seluruh aspek kehidupan
keagamaan mereka.
3.
Etika Sosial
Keagamaan (Komitmen Praktis), dialog
antar agama diusulkan pada pergaulan yang bercorak praktis. Salah satu konteks
Asia adalah kemiskinan atau keterbelakangan masyarakat dan kemiskinan rakyat,
yang membutuhkan respon aktif dari para pemeluk agama, dengan kata lain semua
ini berada dalam tataran etika social agama, sahingga agama-agama mesti
memberikan respon etis. Kegiatan sosial bersama berbasis solidaritas social
merupakan kegiatan konkret yang dapat dilakukan. Atau yang lainnya adalah
kegiatan dibidang social ekonomi atau social politik. Hal ini kemudian dapat
menjadi kekuatan dalam dialog antar umat beragama.
4.
Dialog Antar
Manusia Selaku Pribadi, pada tematik
ini, Sumartana hendak menyampaikan bahwa menghargai manusia selaku pribadi,
sebagaimana Tuhan selalu berhubungan dengan setiap pribadi manusia, adalah sama
dengan kita menghargai agama yang dianutnya atau sebaliknya. Pribadi ini
tentunya mengenal dengan baik integritasnnya dan dapat mengahargai integritas
penganut agama lain. Orang tidak dapat menghargai integritas iman tertentu
tanpa menghargai pribadi orang lain. Permulaan dialog antar agama adalah dialog
antar manusia.
5.
Pengalaman
Dialog dalam Doa dan Ibadah Bersama,
Sumartana menngemukakan usulan ini berdasarkan pengalaman di INTERFIDEI, yang
kerap melakukan ibadah bersama atau doa bersama dengan tema tertentu misalnya
Natal, makna berpuasa, makna kematian dll. Dengan kesempatan ini dibicarakan
secara tebuka pandangan dari berbagai agama, dan dinikmati secara bersama.
Sebagai
penutup Sumartana mengemukakan bahwa sebenarnya INTERFIDEI adalah sebagai
“fasilitator” bagi semua pihak yang tertarik kepada gagasan tentang dialog. Lanjut
menurut beliau bahwa dialog yang dimaksudkan bukan “competiton of truth” mencari yang benar. Sumartana menutup dengan
mengutip tulisan Mencius (372-289 sM) bahwa :”sesuatu yang lain yang kita
temukan pada orang lain, adalah sesuatu dari diri kita sendiri (yang hilang
yang ditemukan kembali). Pemikiran atau usulan tematik yang diusulkan
Sumartana, tentu bukanlah satu-satunya, namun kiranya itu cukup untuk memberi
tema dialog kontemporer di negeri ini.
C.
Analisis terhadap Pandangan Th. Sumartana
Pemikiran Sumartana yang dipaparkan dalam buku ini,
sedikit banyak merupakan pengalaman hidup memberi diri dalam lembaga
INTERFIDEI, yang terbentuk dengan latar belakang konflik yang terjadi karena
perang dingin, kesadaran baru untuk menghormati agama lain secara internasional
maupun nasional, persoalan kemanusiaan, konflik social politik, keterpanggilan
mengembangkan sikap positif dan bekerjasama membangun masyarakat dan pandangan
filosofis yang memandang penganut-penganut agama sebagai unsur-unsur penting
dalam mengembangkan masyarakat. Bahkan memang benar-benar pengalaman di
dalamnya. Melihat latar belakang terbentuknya lembaga INTERFIDEI ini maka nampak
bahwa maksudnya tulus dan mulia. Dengan demikian, hasil pemikirannya adalah
cerminan pengalaman dialog antar agama yang telah dan sedang terjadi, di
Indonesia khususnya.
Melihat pemaparan Sumartana, maka secara pribadi
saya melihat kekuatan pemaparannya ada pada pengalaman yang melahirkan konsep
usulan yang akan dan sedang dilaksanakan dalam dialog antar agama. Apa yang
diusulkan Sumartana seperti jembatan mistis, etika social keagamaan, atau pun
masalah historis sosiologi adalah model dialog antar agama yang cukup menyentuh
konteks hidup bersesama di Indonesia, sehingga dapat dilaksanakan demi mencapai
hidup bersesama yang indah di Indonesia, dan masyarakat menjadi tumbuh dan
berkembang. Hal lain yang menarik adalah, tematik dialog antar umat beragama
yang diusulkan sangat kontekstual, dan memulai dari diri sendiri dengan
integitas penganut agamanya sampai kehidupan interaksi social dan etika sosial
dalam pengembangan masyarakat, atau dapat dikatakan bersifat holistik.
Disamping itu, tanggapan bahwa setiap orang yang ada disekitar kita adalah
bagian dari diri kita sendiri, adalah prinsip yang dapat dipegang teguh dalam
berdialog dengan sesama manusia dan antar agama. Sehingga tujuan dialog adalah
bukan menentukan yang benar secara mutlak, tetapi untuk menjawab kebutuhan
konteks yang ada, dijawab Sumartana dalam pemaparannya dan baik untuk dilakukan
dan diaplikasikan dalam keseharian kita.
Namun demikian, menurut hemat saya, yang sederhana
ini, terdapat beberapa kelemahan yang dalam tulisan Sumartana: Pertama, tulisan Sumartana cukup sulit
untuk dimengerti, sedikit berputar-putar dan penuh dengan istilah-istilah baru.
Kedua, melihat pengakuan Sumartana
bahwa INTERFIDEI adalah fasilitator menjadikan tematik usulan dialognya menjadi
bersifat teoritis dan tidak praktis. Dalam konteks kita saat ini, yang kita
butuhkan tidak sekedar kognitif dari bagaimana berdialog dengan model-modelnya,
tetapi bagaimana melakukannya bahkan memulainya dalam kehidupan sehari-hari,
karena manusia hidup dalam praktek hidup keseharian tidak hanya pada tataran
diskusi saja.
Sementara itu, usulan Sumartana ini tidak dapat
secara merata dilaksanakan dalam berbagai konteks di Indonesia. Sebagai contoh beberapa
daerah di Indonesia yang memiliki historis yang tidak baik dan menjadi musuh,
yang memiliki latar belakang yang kelam. Sehingga menimbulkan pertanyaan,
apakah kesalahan masa lalu akan menghubungkan jembatan ini dengan baik?. Hal
lain, pada usulan etika sosial keagamaan (komitmen praksis), mengusulkan
komitmen praksis yang dibangun bersama, namun Sumartana tidak menyertakan
bagaimana membangun komitmen itu, apa tantangannya, atau masih bersifat umum
dan tidak konkret.
Secara pribadi usulan-usulan tematik yang dipaparkan
Sumartana adalah upaya yang baik yang saya dukung dan turut serta ingin megejawantahkan
dalam kehidupan bersesama dan bermasyarakat. Kelemahan-kelemahan tidak
menjadikan usulan ini tidak dapat dilakukan bersama. Setiap yang terbeban pada
dialog antar umat beragama mesti mendalami usulan Sumartana ini, dan dapat
dipadupadankan dengan usulan lain tentunya, sebab model pendekatan dalam hidup
bersesama tentu tidak kaku, tetapi terus berkembang dan maju dengan dinamis
seiring dengan perkembangan konteks masyarakat bersesama.
D.
Penutup
Sebagai
kesimpulan adalah bahwa setiap apa yang Tuhan izinkan ada disekitar kita mesti
kita percayai sebagai bagian dari hidup kita yang mesti diterima dan dijaga,
bukan ditolak dan diabaikan. Dialog antar agama kontemporer tidak hendak
memunculkan satu yang mutlak paling benar, tetapi bagaimana kedamaian di dunia
tercipta, bagaimana masyarakat akan berkembang dengan baik dan dinamis. Usulan
apapun yang ditawarkan, jika dilakukan dengan tulus ikhlas dengan maksud yang
baik dan benar akan menjadi berkat secara pribadi atau secara umum.
Dialog
antar agama membutuhkan penganut agama lain, dan dilakukan demi kepentingan
bersama. Karenanya kita mesti saling menghargai dan menerima satu dengan yang
lain.
Harapan
saya setelah mempelajari teologi relegionum ini menjadikan setiap orang paham
pentingnya dialog ini demi perkembangan masyarakat dan memberi jawaban atas
tantangan-tantangan agama-agama. Secara khusus bagi Pendidikan Agama Kristen
sebagai mata pelajaran atau mata kuliah, mesti mengajarkan dengan baik,
disamping mengajarkan integritas yang jelas, juga mengajarkan bagaimana
mengaplikasikan integritas yang kuat itu di masyarakat. Sehingga penting
memikirkan dengan matang desain pembelajaran yang menarik dan tepat sasaran
akan dialog antar agama ini. Sehingga makna hidup kita sebagai seorang Kristen
yang hadir untuk hidup bersesama dengan orang lain siapapun dia dapat
terlaksana dengan baik. Dan kelak dapat kita pertanggung jawabkan pada Dia,
sang pemilik semua agama dan manusia di dalamnya.
[1]
Bahan kuliah mata kuliah Teologi agama-agama, pada 22 November 2013, oleh Dosen
Pengampu : Bpk. Pdt. Daud Sangka’ P.
[2]
Th. Sumartana. 2007. "Theologia Religionum". Di dalam Meretas
Jalan Teologi Agama-Agama di Indonesia. Tim Balitbang PGI (Eds.). Jakarta:
BPK Gunung Mulia.
[3]
Ibid
[4] Inggris)Ian Markham. 2004. "Christianity
and Other Religion". In The Blackwell Companion to Modern Theology.
Gareth Jones (Ed.).Malden, MA: Blackwell Publishing.
[5]
Op. cit, lihat bahan kuliah Pdt. Daud Sangka’ P.
[6]
Buku ini disunting oleh Panitia PEnerbitan Buku Kenangan Prof. Dr. Olaf Herbert
Schumann BAlitbang PGI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar