teruslah belajar

tiada kata terlambat untuk belajar, TERUSLAH BELAJAR

Kamis, 30 Oktober 2014

Agama dalam Dialog



Mata Kuliah                    :  Teologi  Religionum
Dosen Pengampu            :  Pdt. Daud Sangka’ P.


ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN TH SUMARTANA
Dalam Buku : Agama Dalam Dialog Pencerahan, Pendamaian dan Masa Depan (Prof. Dr. Olaf Herbert Schumann)


                                              









Oleh :
Uci Sumarlin






BEBERAPA TEMA DIALOG ANTAR-AGAMA KONTEMPORER

A.    Pendahuluan
Dalam rumah kita, kita memiliki hobby dan kesukaan yang tidak melulu sama. Di sekitar tempat tinggal kita tentu terdiri dari berbagai macam manusia dengan karakter dan kondisi sosialnya masing-masing, bahkan di tempat kerja juga demikian. Begitu banyaknya perbedaan tentu menjadikan kita semakin ‘kaya’ dalam segala hal, tetapi sekaligus dapat ‘membingungkan’ dalam hal yang lain. Di era post modern ini tentu perbedaan itu biasa, pergeseran masyarakat dari tradisional ke modern dan kemudian postmodern menunjukkan kemajuan peradaban terus terjadi pada manusia.  Demikian juga halnya dengan teologi dan berdialog , khususnya dalam dialog antar agama kontemporer. 
Dialog agama-agama menjadi hal yang dapat ditemui dalam keseharian. Sebagai contoh di sekolah, tidak hanya terdapat guru yang sama, khususnya dalam hal agama. Kondisi ini tidak menjadikan kita kemudian terkurung dan tidak mau bergaul. Kondisi profesionalitas, misalnya, mengharuskan kita berdialog dengan orang-orang di sekitar kita. Kondisi ini kemudian lebih dikenal dengan istilah konteks. Sehingga dapat dikatakan bahwa teologi agama-agama atau dialog antar agama lahir dari konteks yang disajikan oleh zaman. Zaman dimana komunikasi dan dialog mau tidak ma terus berlangsung baik itu secara teologis maupun secara non teologis.
Apakah yang dimaksud teologi relegionum? Teologi agama-agama artinya[1] :
·         Teologi dari agama yang berkembang khususnya agama modern (agama langit : teologi keselamatan, kematian, hari kiamat, dll),
·         Teologi yang dibanguhn menjadi teologi semua agama (Teologi Universal)
·         Teologi yang dibangun masing-masing agama karena konteks plural dalam masyarakat dan bangsa seperti Indonesia.
Teologi Agama-agama (dalam bahasa Inggris Theology of Religions, dalam bahasa Latin Theologia Religionum) adalah cabang dari ilmu teologi yang membahas bagaimana kekeristenan memberi respons teologis terhadap kenyataan adanya pluralitas agama di luar dirinya.[2] Fokus studi teologi agama-agama adalah bagaimana umat Kristen memandang dan menilai agama-agama lain, serta bagaimana hubungan yang positif antar-agama dimungkinkan melalui teologi yang dikonstruksi.[3] Salah satu pionir di dalam teologi agama-agama adalah teolog Inggris yang bernama Alan Race.[4]
Teologi agama-agama ini penting untuk dipahami dan dipelajari bahkan diberlakukan dalam kehidupan, sebab tidak dapat dipungkiri bahwa kita hidup di zaman plural atau dalam masyarakat yang plural. Jadi tantangan agama-agama adalah pluralism yang tidak dapat dihindari pada bagian dunia manapun.[5] Karena itu, penting untuk memikirkan model dialog yang bagaimana yang akan diberlakukan dalam kehidupan bersesama dan bermasyarakat di Indonesia khususnya. Salah satu yang memberikan sumbangsih pemikiran adalah Th. Sumartana yang kemudian menyumbangkan salah satu pemikiran pada buku yang bersifat bunga rampai. Buku yang merupakan punjung tulis 60 Tahun kenangan Prof. Dr. Olaf Herbert Schumann hasil suntingan Balitbang PGI, dengan judul : “Agama dalam Dialog, Pencerahan, Pendamaian, dan Masa Depan”.[6]
B.     Deskripsi Pemikiran Th. Sumartana
Siapakah Th Sumartana ini? Th. Sumartana, lahir di Banjarnegara, Jawa Tengah, 15 Oktober 1944. Direktur Yayasan Dialog Antar Iman (Dian) ini, lulus Sarjana Teologi dari Sekolah Tinggi Theologi Jakarta, tahun 1972, dan studi dialog antaragama di Geneva (1972-1973). Memperoleh gelar Ph.D. pada jurusan Misiologi dan Perbandingan Agama, Freij Universiteit, dengan judul disertasi Mission at the Cross Road. Pernah bekerja sebagai Redaktur Teologi pada BPK Gunung Mulia (1972-1975), sebagai staf Lembaga Penelitian dan Studi Dewan Gereja-gereja di Indonesia, Jakarta (1975-1982). Tahun 1991-1995, sebagai pengajar tetap pada Program Pascasarjana Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.
Cendekiawan Kristiani ini seringkali menyoroti perihal kesibukan berteologi yang kurang peka terhadap tanda-tanda zaman. Dalam sebuah tulisan bertajuk "Theologia Religionum: Sebuah Pengantar" ia mengemukakan kesibukan berteologi kita sekarang ini terasa kurang terarah. Mungkin, karena kita kurang merumuskan persoalan dengan jelas, atau bisa juga karena soal yang kita pergumulkan kurang mempunyai pijakan pada kenyataan kehidupan. Kesibukan kita kurang peka terhadap tanda-tanda zaman. Sehingga, teologi kita tidak punya komitmen yang sungguh-sungguh terhadap masa depan.
Dalam buku ini, Th Sumartana mengemukakan beberapa hal sebagai berikut :
Ø  Dialog agama-agama kontemporer lahir dari konteks pluralisme, berbeda dengan corak agama-agama dimasalalu. Karenanya membutuhkan basis pemahaman teologis, institusional, aktivitas serta kiprah agama dalam masyarakat.
Ø  Tulisannya berangkat dari pengalaman pada lembaga INTERFIDEI, lembaga yang bergerak dalam bidang dialog antar iman atau agama. Yang kemudian melahirkan pemikiran Th Sumartana bahwa dialog antar agama adalah sebuah garis dengan titik-titik tematik yang saling menyambung atau berkaitan satu dengan yang lain, yang tertenun dalam pergaulan formal ataupun non formal
Ø  Dialog yang terjadi antar agama adalah bersifat umum / non teologis dan teologis. Tetapi secara implisit ada dalam setiap perumusan sikap serta massalah yang digeluti bersama.
Ø  Rumusan tematik dialog antar agama-agama ini, terdapat lima pokok yang perlu dicermati bersama-sama, yaitu :
1.      Jembatan mistik, hal mistisisme adalah hal biasa bagi masyarakat Indonesia. Pengalaman mistis adalah cara untuk mentrandensikan pengalaman keagamaan yang sudah menjadi terlalu doktriner-rasionalistis. Hal mistis yang kemudian dijadikan “jembatan” adalah  kesenangan berada di hadirat Tuhan. Sehingga orang akan bersatu untuk bergaul dengan Tuhan. Perbedaan antar agama akan menjadi cair, karena pengalaman dalam kesatuan dengan Tuhan yang mengatasi segala agama. Tuhan menjadi pusat dalam pengalaman mistik, yang menjadi pengalaman tentang transendensi yang bisa melintasi perbedaan antar agama, tanpa terjerumus dalam upaya penggabungan (amalgamasi) di satu pihak dan konfirmasi di pihak lain.
2.      Pendekatan Historis-Sosiologis, pendekatan ini adalah upaya untuk memanfaatkan ilmu-ilmu sosial lain, khususnya sejarah dan sosiologi. Secara historis, Sumartana menjelaskan bahwa setiap agama dapat menemukan proses kejadian serta asal-muasal dari munculnya sebuah fenomena keagamaan tertentu, misalnya Doktrin Trinitas, sebagai teks. Hal lain yang penting adalah konteks yang saling berpengaruh dengan teks, sehingga tidak dapat dipisahkan. Fenomena agama, yang bukan melulu soal wahyu saja, tetapi juga fenomena kemanusiaan yang penting untuk dikaji ulang dan ditafsir ulang dengan tuntutan konteks yang baru. Jadi, dialog antar agama ditempatkan pada konteks yang dinamis, yang terus mengalami pembaharuan, reinterpretasi, rekontekstualisasi, dan melakukan kajian ulang terhadap seluruh aspek kehidupan keagamaan mereka.
3.      Etika Sosial Keagamaan (Komitmen Praktis), dialog antar agama diusulkan pada pergaulan yang bercorak praktis. Salah satu konteks Asia adalah kemiskinan atau keterbelakangan masyarakat dan kemiskinan rakyat, yang membutuhkan respon aktif dari para pemeluk agama, dengan kata lain semua ini berada dalam tataran etika social agama, sahingga agama-agama mesti memberikan respon etis. Kegiatan sosial bersama berbasis solidaritas social merupakan kegiatan konkret yang dapat dilakukan. Atau yang lainnya adalah kegiatan dibidang social ekonomi atau social politik. Hal ini kemudian dapat menjadi kekuatan dalam dialog antar umat beragama. 
4.      Dialog Antar Manusia Selaku Pribadi, pada tematik ini, Sumartana hendak menyampaikan bahwa menghargai manusia selaku pribadi, sebagaimana Tuhan selalu berhubungan dengan setiap pribadi manusia, adalah sama dengan kita menghargai agama yang dianutnya atau sebaliknya. Pribadi ini tentunya mengenal dengan baik integritasnnya dan dapat mengahargai integritas penganut agama lain. Orang tidak dapat menghargai integritas iman tertentu tanpa menghargai pribadi orang lain. Permulaan dialog antar agama adalah dialog antar manusia.
5.      Pengalaman Dialog dalam Doa dan Ibadah Bersama, Sumartana menngemukakan usulan ini berdasarkan pengalaman di INTERFIDEI, yang kerap melakukan ibadah bersama atau doa bersama dengan tema tertentu misalnya Natal, makna berpuasa, makna kematian dll. Dengan kesempatan ini dibicarakan secara tebuka pandangan dari berbagai agama, dan dinikmati secara bersama.
Sebagai penutup Sumartana mengemukakan bahwa sebenarnya INTERFIDEI adalah sebagai “fasilitator” bagi semua pihak yang tertarik kepada gagasan tentang dialog. Lanjut menurut beliau bahwa dialog yang dimaksudkan bukan “competiton of truth” mencari yang benar. Sumartana menutup dengan mengutip tulisan Mencius (372-289 sM) bahwa :”sesuatu yang lain yang kita temukan pada orang lain, adalah sesuatu dari diri kita sendiri (yang hilang yang ditemukan kembali). Pemikiran atau usulan tematik yang diusulkan Sumartana, tentu bukanlah satu-satunya, namun kiranya itu cukup untuk memberi tema dialog kontemporer di negeri ini.

C.     Analisis terhadap Pandangan Th. Sumartana
Pemikiran Sumartana yang dipaparkan dalam buku ini, sedikit banyak merupakan pengalaman hidup memberi diri dalam lembaga INTERFIDEI, yang terbentuk dengan latar belakang konflik yang terjadi karena perang dingin, kesadaran baru untuk menghormati agama lain secara internasional maupun nasional, persoalan kemanusiaan, konflik social politik, keterpanggilan mengembangkan sikap positif dan bekerjasama membangun masyarakat dan pandangan filosofis yang memandang penganut-penganut agama sebagai unsur-unsur penting dalam mengembangkan masyarakat. Bahkan memang benar-benar pengalaman di dalamnya. Melihat latar belakang terbentuknya lembaga INTERFIDEI ini maka nampak bahwa maksudnya tulus dan mulia. Dengan demikian, hasil pemikirannya adalah cerminan pengalaman dialog antar agama yang telah dan sedang terjadi, di Indonesia khususnya.
Melihat pemaparan Sumartana, maka secara pribadi saya melihat kekuatan pemaparannya ada pada pengalaman yang melahirkan konsep usulan yang akan dan sedang dilaksanakan dalam dialog antar agama. Apa yang diusulkan Sumartana seperti jembatan mistis, etika social keagamaan, atau pun masalah historis sosiologi adalah model dialog antar agama yang cukup menyentuh konteks hidup bersesama di Indonesia, sehingga dapat dilaksanakan demi mencapai hidup bersesama yang indah di Indonesia, dan masyarakat menjadi tumbuh dan berkembang. Hal lain yang menarik adalah, tematik dialog antar umat beragama yang diusulkan sangat kontekstual, dan memulai dari diri sendiri dengan integitas penganut agamanya sampai kehidupan interaksi social dan etika sosial dalam pengembangan masyarakat, atau dapat dikatakan bersifat holistik. Disamping itu, tanggapan bahwa setiap orang yang ada disekitar kita adalah bagian dari diri kita sendiri, adalah prinsip yang dapat dipegang teguh dalam berdialog dengan sesama manusia dan antar agama. Sehingga tujuan dialog adalah bukan menentukan yang benar secara mutlak, tetapi untuk menjawab kebutuhan konteks yang ada, dijawab Sumartana dalam pemaparannya dan baik untuk dilakukan dan diaplikasikan dalam keseharian kita.
Namun demikian, menurut hemat saya, yang sederhana ini, terdapat beberapa kelemahan yang dalam tulisan Sumartana: Pertama, tulisan Sumartana cukup sulit untuk dimengerti, sedikit berputar-putar dan penuh dengan istilah-istilah baru. Kedua, melihat pengakuan Sumartana bahwa INTERFIDEI adalah fasilitator menjadikan tematik usulan dialognya menjadi bersifat teoritis dan tidak praktis. Dalam konteks kita saat ini, yang kita butuhkan tidak sekedar kognitif dari bagaimana berdialog dengan model-modelnya, tetapi bagaimana melakukannya bahkan memulainya dalam kehidupan sehari-hari, karena manusia hidup dalam praktek hidup keseharian tidak hanya pada tataran diskusi saja.
Sementara itu, usulan Sumartana ini tidak dapat secara merata dilaksanakan dalam berbagai konteks di Indonesia. Sebagai contoh beberapa daerah di Indonesia yang memiliki historis yang tidak baik dan menjadi musuh, yang memiliki latar belakang yang kelam. Sehingga menimbulkan pertanyaan, apakah kesalahan masa lalu akan menghubungkan jembatan ini dengan baik?. Hal lain, pada usulan etika sosial keagamaan (komitmen praksis), mengusulkan komitmen praksis yang dibangun bersama, namun Sumartana tidak menyertakan bagaimana membangun komitmen itu, apa tantangannya, atau masih bersifat umum dan tidak konkret.
Secara pribadi usulan-usulan tematik yang dipaparkan Sumartana adalah upaya yang baik yang saya dukung dan turut serta ingin megejawantahkan dalam kehidupan bersesama dan bermasyarakat. Kelemahan-kelemahan tidak menjadikan usulan ini tidak dapat dilakukan bersama. Setiap yang terbeban pada dialog antar umat beragama mesti mendalami usulan Sumartana ini, dan dapat dipadupadankan dengan usulan lain tentunya, sebab model pendekatan dalam hidup bersesama tentu tidak kaku, tetapi terus berkembang dan maju dengan dinamis seiring dengan perkembangan konteks masyarakat bersesama.

D.    Penutup
Sebagai kesimpulan adalah bahwa setiap apa yang Tuhan izinkan ada disekitar kita mesti kita percayai sebagai bagian dari hidup kita yang mesti diterima dan dijaga, bukan ditolak dan diabaikan. Dialog antar agama kontemporer tidak hendak memunculkan satu yang mutlak paling benar, tetapi bagaimana kedamaian di dunia tercipta, bagaimana masyarakat akan berkembang dengan baik dan dinamis. Usulan apapun yang ditawarkan, jika dilakukan dengan tulus ikhlas dengan maksud yang baik dan benar akan menjadi berkat secara pribadi atau secara umum.
Dialog antar agama membutuhkan penganut agama lain, dan dilakukan demi kepentingan bersama. Karenanya kita mesti saling menghargai dan menerima satu dengan yang lain.
Harapan saya setelah mempelajari teologi relegionum ini menjadikan setiap orang paham pentingnya dialog ini demi perkembangan masyarakat dan memberi jawaban atas tantangan-tantangan agama-agama. Secara khusus bagi Pendidikan Agama Kristen sebagai mata pelajaran atau mata kuliah, mesti mengajarkan dengan baik, disamping mengajarkan integritas yang jelas, juga mengajarkan bagaimana mengaplikasikan integritas yang kuat itu di masyarakat. Sehingga penting memikirkan dengan matang desain pembelajaran yang menarik dan tepat sasaran akan dialog antar agama ini. Sehingga makna hidup kita sebagai seorang Kristen yang hadir untuk hidup bersesama dengan orang lain siapapun dia dapat terlaksana dengan baik. Dan kelak dapat kita pertanggung jawabkan pada Dia, sang pemilik semua agama dan manusia di dalamnya.



[1] Bahan kuliah mata kuliah Teologi agama-agama, pada 22 November 2013, oleh Dosen Pengampu : Bpk. Pdt. Daud Sangka’ P.
[2] Th. Sumartana. 2007. "Theologia Religionum". Di dalam Meretas Jalan Teologi Agama-Agama di Indonesia. Tim Balitbang PGI (Eds.). Jakarta: BPK Gunung Mulia.
[3] Ibid
[4] Inggris)Ian Markham. 2004. "Christianity and Other Religion". In The Blackwell Companion to Modern Theology. Gareth Jones (Ed.).Malden, MA: Blackwell Publishing.

[5] Op. cit, lihat bahan kuliah Pdt. Daud Sangka’ P.
[6] Buku ini disunting oleh Panitia PEnerbitan Buku Kenangan Prof. Dr. Olaf Herbert Schumann BAlitbang PGI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar